.

Cari Blog Ini

Jumat, 18 Desember 2009

B. Keragaman Sosial Budaya

Lanjutan dari Konsep dasar PKN yang sebelumnya nihc ^^

Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan atau motto bangsa Indonesia yang terdapat dalam lambang negara “Burung Garuda”. Istilah tersebut diambil dari buku Sutasoma karangan Mpu Tantular yang ditulis dalam bahasa Sanskrit. Bhineka Tunggal Ika menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen, yaitu bangsa yang mempunyai keanekaragaman, baik dalam agama, budaya, maupun ras dan suku bangsa.
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia telah membuktikan, bahwa jauh sebelum tahun 1908 perjuangan bangsa Indonesia selalu dapat dipatahkan oleh pemerintah kolonial, salah satu penyebabnya karena perjuangan bangsa Indonesia masih bersifat kedaerahan, yaitu untuk kepentingan daerah atau wilayahnya masing-masing.
Tahun 1908 telah dirintis perjuangan yang bersifat nasional, yaitu dipelopori oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan mendirikan organisasi modern yang diberi “Boedi Utomo”.
Ikrar para pemuda yang hanya akan menjungjung tinggi, Satu Tanah Air; Satu Bangsa dan Satu Bahasa Indonesia, menunjukan bahwa kesadaran bangsa Indonesia akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa semakin meningkat.
Kebhinekaan telah menjadi kekayaan khusus bagi bangsa Indonesia yang amat menarik, baik bagi bangsa Indonesia sendiri ataupun bagi bangsa-bangsa lain di dunia sehingga dapat menarik devisa melalui kunjungan wisata atau kunjungan lainnya.
Kebhinekaan adalah sifat nyata bangsa Indonesia yang sering kita banggakan namun sekaligus kita prihatinkan. Hal ini dikarenakan mengatur masyarakat yang heterogen jauh lebih sulit dibandingkan masyarakat homogen.
Indonesia adalah negara yang terdiri dari 33 provinsi maka apabila setiap provinsi mempunyai satu atau dua keinginan/program maka di Indonesia paling tidak ada 33 sampai 66 keinginan/program yang harus diakomodasi. Contoh konkret adalah apa yang terjadi di negara lain, misal di Jepang, di mana Jepang adalah negara yang sudah jauh lebih maju dan makmur. Salah satu faktor pendukungnya adalah keseragaman kebudayaan dan bahasa. Sebaliknya India, di mana suasana ketenangan, keamanan dan kerja sama antara suku-suku bangsa dan golongan amat terganggu oleh perbedaan norma-norma kasta dan perbedaan agama. Sementara itu untuk menciptakan persatuan dan kesatuan di tingkat nasional kadang – kadang terganggu oleh masalah kebijaksanaan nasional.
Oleh karena itu, amatlah logis dalam upaya mengantisipasi terjadinya perpecahan antar suku bangsa MPR sebagai lembaga tertinggi negara dalam sidang tahunannya yang pertama pada tahun 2000 mengeluarkan Ketetapan Nomor V/ MPR/ 2000 tentang “Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional” di mana dala salah satu alimatnya menyatakan bahwa : Konflik sosial budaya telah terjadi karena kemajemukan suku, kebudayaan dan agama yang tidak dikelola dengan baik dan adil oleh pemerintah maupun masyarakat.
Bangsa Indonesia memerlukan kondisi penyelenggaraan negara yang mampu memahamu dan mengelola kemajemukan bangsa secara adil sehingga dapat terwujud toleransi, dan kerukunan sosial, kebersamaan dan kesetaraan berbngsa.
Kebhinekaan dapat menjadi tantangan atau ancaman karena kebhinekaan mudah membuat orang untuk berbeda pendapat yang lepas kendali, tumbuhnya perasaan kedaerahan atau kesukuan atau kekerasan yang sewaktu-waktu bisa menjadi ledakan yang akan mengancam integrasu atau persatuan dan kesatuan bangsa.
Melalui dialog kita akan dapat mengetahui apa sebenarnya yang dipermasalahkan atau diinginkan oleh masyarakat di suatu wilayah atau daerah. Dengan mengetahui apa yang menjadi harapan, keinginan dan cita-cita masyarakat tersebut, tinggal bagaimana pemerintah dan masyarakat daerah yang bersangkutan mewujudkannya dalam bentuk kebijakan atau program yang diikuti dengan berbagai alternatif kebijakan dan alternatid tindakannya. Sebagai salah satu upaya yang dilakukan pemerintah pusat dalam mengantisipasi apa yang menjadi harapan dan keinginan daerah-daerah di Indonesia maka mulai tahun 2001 diterapkan otonomi daerah.
Oleh karena itu, diperlukan kesiapan yang matang dari daerah-daerah untuk menerima dan melaksanakan berbagai otonomi tersebut. Keanekaragaman bangsa Indonesia dilatarbelakngi oleh jumlah suku-suku bangsa Indonesia yang mendiami wilayah Indoensia sangat banyak, dan tersebar, di mana setiap suku bangsa mempunyai ciri atau karakter tersendiri, baik dalam aspek sosial maupun budaya.
Contoh lain dalam aspek bahasa, setiap daerah mempunyai bahasa daerahya masing-masing, bahasa daerah orang Jayapura akan berbeda dengan bahasa daerah orang Dayak, bahasa daerah orang Cirebon akan berbeda dengan bahsa daerah orang Ciamis dan sebagainya.
Keanekaragaman tampak pula dalam hasil-hasil kebudayaan daerah di wilayah Indonesia, seprti tarian dan nyanyian. Hampir semua daerah atau suku bangsa mempunyai jenis tarian dan nyanyian yang berbeda, begitu juga dalam hasil karya atau kerajinan.
Contoh tari-tarian daerah, misalnya tari Topeng (Cirebon); tari Kipas (Sulawesi Selatan), tari Piring dan tari Payung ( Sumatera Barat). Begitu pula halnya dengan nyanyian daerah, ada lagu Es Lilin, Tokecang, Cingcangkeling, Ole-Ole Bandung, Tutu Koda, Naluya, Suwe Ora Jamu, Apuse, dan sebagainya.
Koentjaraningrat (1993) menguraikan secara garis besar unsur-unsur pokok yang hidup dalam seleksi dari 15 kebudayaan di Indonesia. Ke-15 kebudayaan itu, misalnya Sebelah Barat Sumatera ada kebudayaan Simalur, Nias, Banyak, Batu, Mentawai, dan Enggano. Orang Simalur dan Banyak lebih banyak terpengaruh oleh kebudayaan dan adat istiadat Aceh , termasuk agama yang dipeluknya juga mayoritas Islam. Sedangkan orang Nias belum pernah terpengaruh oleh kebudayaan Hindu maupun Islam, jadi lebih banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Megalithikum (kebudayaan batu). Agam yang dianut Nias pada umumnya Kristen dan Katholik. Sementara itu orang Mentawai mempunyai kebudayaan bercocok tanam padi, dan agama yang dianutnya Kristen dan Katholik, sedangkan bagi masyarakat Enggano hampir sama dengan kebudayan orang Mentawai.
Selanjunya Koentjaraningrat (1993:32-33) mengelompokkan 15 kebudayaan yang dimiliki tersebut ke dalam 6 tipe sosial budaya yang dimiliki bangsa Indonesia, yaitu berikut ini.
1. Tipe masyarakat berkebun yang amat sederhana dengan keladi dan ubi jalar sebagai tanaman pokoknya dalam kombinasi dengan berburu atau meramu; sistem dasar kemasyarakatannya berupa desa terpencil tanpa diferensiasi dan stratifikasi yang berarti. Contoh kebudayaan Mentawai di Pantai Utara Irian Jaya.
2. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di ladang atau sawah dengan padi sebagai tanaman pokok; Sistem dasar kemasyarakatannya berupa “Komunitas Petani”. Masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya itu mewujudkan suatu peradaban kepegawaian yang dibawa oleh system pemerintahan kolonial beserta Zending dan Missie atau oleh Pemerintahan Republik Indonesia yang merdeka. Contoh Kebudayaan Nias, Batak, Kalimantan Tenga, Minahasa, Flores, dan Ambon.
3. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di ladang dasar kemasyarakatannya berupa desa komunitas petani dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang sedang; masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya mewujudkan suatu peradaban bekas kerajaan berdagang dengan pengaruh yang kuat dari agama Islam. Contohnya, kebudayan Aceh, Minangkabau, dan Makasar.
4. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya; system dasar kemasyarakatannya berupa komunitas petani. Masyarakat kota yang menjadi arah orientasinya itu mewujudkan suatu peradaban bekas kerajaan pertanian bercampur dengan peradaban kepegawaian yang dibawa oleh sistem pemerintahan kolonial. Contoh kebudayaan Sunda, Jawa, dan Bali.
5. Tipe masyarakat perkotaan yang mempunyai ciri-ciri pusat pemerintahan dengan ektor perdagangan dan industru yang lemah. Contoh kebudayaan kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan.
6. Tipe masyarakat metropolitan yang mulai mengembangkan suatu sektor perdagangan dan industri yang agak berarti, tetapi masih didominasi oleh aktivitas kehidupan pemerintah, dengan suatu sektir kepegawaian yang luas dan dengan kesibukan politik di tingkat daerah maupun nasional. Contoh kebudayaan kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan.

Awan mutaqin (1992: 49-50) menyatakan bahwa konstruksikeragaman kebudayan bangsa Indonesia dapat dirumuskan berdasarkan nilai adaptasi ekologis, sistem kemasyarakatan dan berbagai pengaruh unur-unsur dari luar, ada pun perinciannya ebagai berikut.
1. Budaya berkebun sederhana.
2. Budaya berladang dan bersawah.
3. Budaya bersawah.
4. Budaya Masyarakat Kota.
5. Mudaya Metropolitan.

Koentjoroningrat (199:384) ada 4 apek yang haru diperhatikan dalam menganalisis hubungan antar uku-uku banga dan golongan yaitu :
1. Umber-sumber konflik.
2. Potensi untuk toleransi.
3. Sikap dan pandangan dari suku bangsa atau golongan terhadap sesama suku bangsa atau golongan.
4. Kondisi masyarakat di mana hubungan dan pergaulanantar suku bangsa atau golongan tersebut berlangsung.

Selanjutnya dikatakan pula oleh Koentjoroningrat bahwa sumber-sumber konflik di negara berkembang termauk Indonesia ada 5, yaitu berikut ini.
1. Konflik bisa terjadi kalau warga dari dua suku bangsa masing-masing bersaing dalam hal mendapatkan mata pencaharian hidup yang sama.
2. Kalau warga dari satu uku bangsa , mencoba memaksakan unsur-unur dari kebudayaannya kepada warga dari suatu uku bangsa lain.
3. Konflik yang sama daarnya, tetapi lebih fanatik dalam wujudnya bisa terjadi kalau warga dari suatu bangsa mencoba memaksakan konsep-konsep agamanya terhadap warga dari suku bangsa lain yang berbeda agama.
4. Konflik akan terjadi kalau suku-suku bangsa lain secara politis.
5. Potensi konflik terpendam ada dalam hubungan antara suku-suku suatu bangsa yang telah bermusuhan secara adat.



Meskipun demikian, situasinya dan kondisi serta keadaan Indoneia juga sangat menguntungkan karena paling tidak ada 2 potensi untuk bersatu, yaitu berikut ini :
1. Warga dari dua suku bangsa yang bersangkutan yang berbeda dapat saling bekerja sama secara sosial ekonomi.
2. Warga dari dua suku bangsa yang beda dapat hidup berdampingan konflik, kalau ada orientasi ke arah suatu golongan ketiga yang dapat menetralisasi hubungan antara kedua suku bangsa tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Enterprise Project Management